Diskursus tentang CIA dan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa ini kembali mengemuka ketika buku Tim Werner berjudul “
Legacy of Ashes”
diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan menyinggung tentang direkrutnya
Adam Malik menjadi agen CIA. Polemik pun merebak. Ada yang percaya, ada
yang tidak. Dan seperti juga kasus lainnya di negeri ini, kontroversi
itu pun segera menguap, berakhir tanpa ending yang jelas. Fakta inilah
yang membuat banyak orang luar menyebut bangsa ini memiliki memori yang
amat pendek.
Di sini Kami tidak secara khusus menyoroti polemik tersebut, namun Kami
akan mencoba untuk menelusuri jejak-jejak CIA di dalam merecoki
perjalanan sejarah Indonesia sampai kini. Semoga apa yang Kami paparkan
bisa menambah wawasan dan meningkatkan kewaspadaan kita semua. Amien.
Negasi Komunisme
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 telah
mencemaskan AS. Sejak itu pula, AS merancang satu strategi untuk
menghancurkan Rusia.
“Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow
Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia
mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan
mencerai-beraikan Soviet Uni sudah direncanakan. ” (Vsyemirnaya Istoria 1961, VIII:82). Dan kita tahu, baru pada tahun 1992 Soviet hancur.
 |
Presiden AS Woodrow Wilson |
Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif
disebabkan fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan
Perang Dunia I dan II. Barulah usai Perang Dunia II AS sungguh-sungguh
menyadari betapa Soviet harus dihadapi dengan serius.
Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan
pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun
kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Indonesia (istilah dulu
“Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang
dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan
AS kepada Belanda menyebabkan Den Hag mampu untuk memperkuat
genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi
terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
“Ketika
tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim
semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan
mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda and; Zaalberg: Indonesia
Merdeka Karena Amerika?, Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme
Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda
dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948
(Dorling and; Lee; Australia and Indonesia’s Independence vol.2: The
Renville Agreement: 1996).
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia
II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alam
yang luar biasa. Sebab itu, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang
bersahabat” dipandang sangat penting bagi AS. George F. Kennan, Direktur
Policy Planning Staff (PPS), pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri
AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948,
“Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.” (Gouda & Zaalberg; p.35).
Kelahiran NATO
 |
NATO |
Guna membendung pengaruh komunisme Soviet di Eropa maka AS mendirikan
North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949. Tanggal 1
Oktober 1949 RRC komunis di bawah Mao Tse Tung berdiri. Perang Korea
(1950) memaksa tentara AS yang di bawah panji PBB berhadapan langsung
melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara. Hal ini menjadikan AS
merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization
(SEATO). Kian jelas, NATO dimaksudkan sebaga politik pembendungan
terhadap Uni Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik
pembendungan terhadap RRC (Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika
Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005). Di penghujung 1950, RRC dan Uni
Soviet menjalin hubungan yang erat. Ini kian mencemaskan AS yang
bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar bebas yang besar bagi dirinya,
dan juga penguasaan atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam
seperti Indonesia. Sebab itu, Menlu AS Dean Acheson di penghujung 1950
merumuskan kebijakan politik luar negeri AS untuk Asia Pasific. AS
menjalin perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut.

Pada 8 September 1951, As mendirikan pangkalan militer di
Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan; Subic di Philipina berdiri pada 30
Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and United States) berdiri
pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan
pada 2 Desember 1954 (Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi
Papers 132; 1977)
Semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh
Soekarno yang sejak muda gandrung pada persatuan Indonesia yang merdeka,
berdaulat secara politik dan ekonomi, dan mandiri. Soekarno tahu jika
negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia
sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh
menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang
membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme
(Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Amerika Serikat Yang Tidak Bisa Dipercaya
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS
karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri,
sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang
bersekutu dengan AS (Soebadio: p.42). Sebab itu, Indonesia menentang
usaha AS menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan
mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin
kerjasama dengan Soviet dalam kedudukan yang setara. Apalagi Soekarno
tahu jika AS membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal ini
menjadikan AS bernafsu untuk menumbangkan segera Soekarno.
7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke
memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump
menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat
ke Indonesia dengan kecepatan penuh.
Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS
guna membentuk Pax-Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di
sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang
merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi
panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan
Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko
Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua
tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal
dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap
Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Sumitro diketahui menyambut baik
Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata,
“Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko,
demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia
yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Sumitro di School
of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation
menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan
dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan
sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang
Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).
David Ransom dalam “
Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis:
“Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan
erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo
Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro AS. Lobi tersebut, di
antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite
Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka merupakan pelopor
Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha agar usaha-usaha dan
kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia
paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, ujar Robert
Delson, anggota Liga yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah
penasehat hukum untuk Indonesia di AS.”
Orang ini, tulis Ransom, selalu menemani dan membawa Sumitro dan Koko
keliling AS dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans
for Democratic Action (ADA) yang juga Soska dan berpengaruh dalam sikap
polittik luar negeri AS.
 |
Konnferensi Meja Bundar |
Usai KMB 1949, Sumitro pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri
Perdagangan dan Industri, dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan dan
Dekan Fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Sikap Sumitro dan
kawan-kawan PSI-nya yang mendukung investasi Belanda di Indonesia
merdeka tidak populer di mata rakyat yang nasionalismenya tengah
bergelora. Akhirnya pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat suara yang
kecil.
Nasionalisasi Aset - Aset Belanda di Indonesia
Pada 1957, untuk memperkuat perekonomian nasional, Bung Karno mengambil
langkah berani dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda. Rakyat
mendukung penuh langkah ini. Namun Soemitro dan rekan-rekannya dengan
berani menentang Bung Karno dan malah bergabung dengan para pemberontak
PRRI/PERMESTA yang didukung penuh CIA. Edisi Koleksi Angkasa berjudul
“Dirty War, Mesiu di Balik Skandal Politik dan Obat Bius”
(juga buku David Wise & Thomas B. Ross: Pemerintah ‘Bayangan’
Amerika Serikat: 2007) memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini:
Dalam waktu bersamaan, November 1957, terjadi percobaan pembunuhan
terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno
selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka.
Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi
oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis,
pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal bakal BIN, dan
didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada di
belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya.
Tudingan Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen
Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel
Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun
kemudian terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam
target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.
Dukungan Besar CIA Pada Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak
main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic &
Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi
pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di
Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan
Letkol Ventje Soemoeal.

Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang
ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War) dipaparkan jika pada malam
hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke
memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump
menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat
ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun.
Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah
kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih
AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS,
Caltex, di Pekanbaru, Riau.
Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan
mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop
sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut
pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan
sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D
Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport
Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada
pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya
sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat
tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS,
Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Pesan rahasia CIA kepada para pimpinan PPRI agar sebelum mundur dari
Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua
batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat
dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke
Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan
para pemberontak.
AGEN CIA TERTANGKAP BASAH
Awalnya pemerintah AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan
PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan setelah
Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat
pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan
udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), setelah pesawat itu
membombardir sebuah pasar dan landasan udara Ambon. Sebuah kapal laut
milik ALRI juga menjadi korban (Soebadio: Hubungan Indonesia Amerika
Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005; h. 73).
“Sejumlah
rakyat sipil, yang sedang berada di gereja pada acara Kamis Putih,
terbunuh dalam serangan di komunitas Kristen tersebut,” tulis David Wise
& Thomas B. Ross dalam “The Invisible Government: Pemerintah
Bayangan Amerika Serikat” (2007; h. 180). Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
Awalnya,
AS lewat Dubes Howard P. Jones berkilah jika Pope merupakan warganegara
AS yang terlibat sebagai tentara bayaran, namun pemerintah RI
mendapatkan banyak bukti jika Pope merupakan agen CIA yang sengaja
ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno.
“Pope bukanlah seorang tentara bayaran. Dia terbang atas perintah CIA,
yang secara diam-diam mendukung para pemberontak yang mencoba
menggulingkan Soekarno… Dalam konferensi pers di Jakarta, 27 Mei, yang
digelar oleh Letkol Herman Pieters, Pemimpin Komando Militer Maluku dan
Irian Barat di Ambon, menyatakan… 300 sampai 400 tentara AS, Filipin a,
dan nasionalis Cina membantu pemberontakan itu.” (Wise & Rose;
h.180)
Ancaman AS dibalas Dengan Ancaman Balik Oleh Bung Karno
Atas gertakan AS yang sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine
dengan Armada ke-7nya ke perairan Riau, Bung Karno sama sekali tidak
gentar dan balik mengancam AS agar jangan ikut campur terlalu jauh ke
dalam masalah internal NKRI. “AS jangan sampai bermain api dengan
Indonesia. Jangan biarkan kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya
Perang Dunia Ketiga!”
Bung Karno segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad
Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC telah
menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk
bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan
yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya. “Kekuatan
angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,”
ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan
Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat
konsentrasi para pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut
tanpa perlawanan yang berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak agar sebelum
mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu,
agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa
mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana
merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak
sempat dilakukan para pemberontak. (Edisi Koleksi Angkasa: Dirty War;
h.48). Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas.
Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan
melarikan diri ke Singapura dan dari ‘Basis Israel di Asia Tenggara’
itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno dan
berusaha agar Indonesia bisa tunduk pada kepentingan kolonialisme dan
imperialisme baru (Nekolim) AS.
Operasi Dua Muka AS
Walau awalnya AS membantah keterlibatannya, namun setelah tidak akif
lagi di Indonesia, mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya
tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan
Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145).
Upaya CIA menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat
film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai
cara. Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung
Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke
negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS menolak
memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih
jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung
PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia.
19 Agustus 1958, AS akhirnya mengeluarkan pengumuman resmi jika pihaknya
bersedia menjual senjatanya kepada Indonesia. “Dalam waktu enam bulan,
kurang lebih 21 batalyon Indonesia telah diperlengkapi dengan
senjata-senjata ringan Amerika,” (Jones; h. 154)
Namun walau di permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah
melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin
terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam
CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu
pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan
Amerika. Ini termuat dalam dokumentasi laporan Hugh S. Cumming, Kepala
Kementerian Pertahanan dan CIA, kepada National Security Council (NSC)
pada 3 September 1958. (Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin; 2008;
h. 331). Senjata-senjata AS banyak yang dikirim kepada Angkatan Darat,
dibanding angkatan lainnya dengan pertimbangan dari analisa agen-agen
CIA bahwa elemen ini lebih bisa diajak bekerjasama dengan AS ketimbang
elemen lainnya.
Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun kelompok elit
birokrat baru yang pro-AS yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’.
Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini.
Bahkan di awal tahun 1960-an, tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini bisa
mengajar di Seskoad dan menjalin komunikasi intens dengan sekelompok
perwira Angkatan Darat yang memusuhi Panglima Tertinggi/Presiden
Soekarno, yang diantaranya adalah Suharto yang kelak berkuasa setelah
Bung Karno ditumbangkan di tahun 1965. (untuk hal ini lebih lanjut
silakan baca artikel David Ransom:
“Mafia Berkeley dan Pembunuhan
Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di
Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts; 1971).
Tumbangnya Sukarno, Kabar Gembira Buat Washington
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira
Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai
“Terbukanya upeti besar dari Asia”.
Untuk membangun satu kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di
Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika), AS menyelenggarakan
pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth,
Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira
Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang.
(Suroso; 2008; h. 373)
Selain militer, AS juga membangun satu kelompok elit birokrat di
Universitas-Universitas AS seperti di Berkeley, MIT, Harvard, dan
sebagainya, yang dikenal sebagai Mafia Berkeley. Kedua elemen ini binaan
AS ini (kelompok perwira AD yang dipimpin Suharto dan kelompok birokrat
yang tergabung dalam ‘Mafia Berkeley’ pimpinan Sumitro) kelak berkuasa
di Indonesia setelah Soekarno ditumbangkan. Inilah cikal bakal
Orde Baru (The New Order). Amerika Serikat sendiri juga dikenal sebagai pemimpin
Orde Dunia Baru (The New World Order).
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC)
lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens.
Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer AS juga sangat aktif
menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi
kekuasaan paska Soekarno.
Sebuah memorandum CIA yang dipersiapkan untuk State Department yang
dikeluarkan di Washington, 18 September 1964 berjudul Prospek Untuk Aksi
Rahasia berisi 18 point, dalam point ke-16 antara lain berbunyi:
…Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah PKI dan lebih
penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen non-komunis, khususnya
dengan Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, bila dimungkinkan, kita harus
menyerang Soekarno? Apakah tidak dapat terpikirkan untuk menggerakkan
tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di
bawah syarat-syarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk
meraih kekuasaan besar guna memulihkan keamanan dan ketertiban? Kita
tidak ingin nampak terlalu ambisius dalam hal ini. Tapi jika kita
membangun program yang didalamnya terdapat bentuk [kurang dari 1 baris
teks sumber tidak dideklasifikasikan] sebagai supplement di dalam
perkembangan politik jangka panjang. Penting sekali mengetahui kemana
kita akan berjalan dan mampu menuntut kemungkinan segala konsekuensinya
dari segala usaha kita. Saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
adalah sekarang, tidak ada nanti…” (Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965; 2007).
Demikianlah. Sudah banyak literatur dan dokumen yang membongkar
keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965, yang pada akhirnya
menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas nama
pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama
kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di
Indonesia kepada Jenderal Suharto. Orang yang dijadikan penghubung
antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik (lihat tulisan
Kathy Kadane, seorang lawyer dan jurnalis State News Service, berjudul
“Para Mantan Agen Berkata: CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia”;
Herald Journal, 19 Mei 1990. Artikel yang sama dimuat di San Fransisco
Examiner, 20 Mei 1990; di Washington Post, 21 Mei 1990; dan di Boston
Globe, 23 Mei 1990). CIA memang memberi daftar kematian sejumlah 5.000
orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol. Sarwo Edhie,
Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama
di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil
dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang
kecil yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor
konspiratif antara CIA dengan para ‘local army friend’.
Terbukanya Upeti Besar dari Asia
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira
Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai
“Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta
karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh
Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi
dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti
harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika
Serikat.
“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di
Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter
Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian
berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang
bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan
imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967.
Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono
IX dan Adam Malik. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley,
menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller.
Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan
tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di
Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal
untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini
yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John
Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE
korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Dalam fase awal kekuasaannya, Jenderal Suharto didampingi oleh dua tokoh
Orde Baru, sama-sama Amerikanis, yakni Adam Malik dan Sultan
Hamengkubuwono IX. Mereka ini dikenal sebagai Triumvirat Orde Baru.
Dalam tulisan berikutnya akan disorot jejak CIA di dalam masa kekuasaan
Jenderal Suharto, di mana bukan hanya CIA yang diajak masuk ke Indonesia
namun juga nantinya MOSSAD, sebagaimana telah ditulis dengan jelas di
dalam Memoirnya Jenderal Soemitro, mantan Pangkopkamtib.
Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA, bernama Clarence “Ed” Barbier
mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar
AS.
David Ransom, di dalam artikel “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di
Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika
Serikat Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971), dengan jujur memaparkan
bagaimana AS lewat CIA membangun satu kelompok elit baru guna memimpin
satu Indonesia yang tunduk pada kepentingan kekuatan Neo-Imperialisme
dan Neo-Kolonialisme Barat. Bahkan sesungguhnya, Amerikalah yang
merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang
dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat
satu tim asistensi CIA dan sejumlah think-tank AS yang bekerja di
belakang para teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru.
Para pejabat pendiri Orde Baru seperti Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko,
dan sebagainya memang dikenal amat dekat dengan para pejabat AS, baik
yang bekerja di Jakarta maupun Washington. Lewat CIA, AS telah
memanfaatkan para pejabat Indonesia anti Soekarno ini untuk memuluskan
kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History of
CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA
lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang
terakhir ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan
kawan-kawan-dengan para pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA, bernama Clarence “Ed” Barbier
mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar
AS. “Eufismisme diplomatik ini biasanya dikhususkan bagi Kepala Stasiun
CIA yang secara terbuka menyatakan hal ini kepada negara penerima… Dua
kepala stasiun sebelumnya tidak diberitahukan secara resmi kepada
pemerintah Soekarno dan hanya terdaftar sebagai ‘Sekretaris
Pertama/Politik’, suatu jabatan untuk menyamarkan kepala perwakilan ini
di antara para diplomat resminya,” tulis Ken Conboy dalam “Intel:
Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” (2007; h. 47-48).
Barbier yang fasih Bahasa Jepang dan bekerja pada intelijen AL-AS pada
Perang Dunia II sebelumnya bertugas di Pacific. Dari lembaga intel
AL-AS, Barbier dipindahkan ke CIA di awal berdirinya dan bertugas
mengawasi jalur komunikasi dinas intelijen Vietnam Selatan.
Salah satu operasi rahasia CIA di Indonesia di awal era Orde Baru adalah
operasi HABRINK, yang berbasis di Konsulat AS di Surabaya. Saat itu,
rezim Suharto ‘menerima’ warisan perlengkapan dan persenjataan perang
dari negara-negara Blok Timur seperti Chekoslovakia dan Soviet.
Kebetulan, AS tengah berperang di medan tempur Indocina dan menghadapi
pihak lawan yang menggunakan peralatan perang seperti yang ada di
Indonesia.
“Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini bertujuan untuk mendapatkan
detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan militer Soviet seperti
Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang jenis Riga, dan
pesawat pembom Tu-16. Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah
seorang pejabat CIA yang terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet,
dihukum pada 1980 karena diketahui telah menjual detil operasi ini
kepada pihak Soviet. Hal ini berasal dari catatan Bakin Personnel File
atau BPF dengan title ‘David Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya
(h.57). Clarence Barbier, demikian tulis Conboy, bekerja dengan mulus
di Indonesia disebabkan kesamaan agenda antara AS dengan rezim Suharto,
yakni memerangi komunisme. Dalam tugasnya, Barbier merekrut sejumlah
orang Indonesia, baik militer maupun sipil. Lewat hubungan yang amat
baik dengan Kolonel CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira didikan AS
(lulusan Fort Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh
Perti (Partai Tarbiyah Indonesia) bernama Suhaimi Munaf, yang oleh
Suharto dianggap dekat dengan orang-orang komunis. Suhaimi sendiri
pernah ditangkap pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan
kejahatan politik.
Pada sekitar Agustus 1968, menjelang kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier
meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar melakukan serangkaian tes
psikologi terhadap Suhaimi. Hasil tes menunjukkan Suhaimi memiliki
mental baja, keras kepala, dan tidak mudah dipengaruhi. Hasil yang
sesuai dengan keinginan CIA. Singkat cerita, Munaf berhasil direkrut CIA
dan dikirim ke Pulau Buru dengan menyandang nama sandi Friendly/1. Di
pulau tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi
mendapat tugas untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik
yang berada di dalam maupun luar negeri.
“
Dengan memanfaatkan simpati atas penahanannya, ia mencari-cari
pekerjaan di di kedutaan negara asing komunis… CIA telah menuai sukses
awal dengan Friendly/1,” demikian Conboy.
Kerjasama Kol. Nicklany dengan Barbier tidak berhenti di sini saja. Pada
awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai Asisten Intelijen Kopkamtib
kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin membentuk satuan tugas
kontra intelijen asing, guna menangkap mata-mata asing yang beroperasi
di Indonesia. “Mata-mata aing” di sini tentu saja memiliki arti sebagai
mata-mata Blok Timur. Karena dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah
bekerjasama.
Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan anggota inti sebanyak
enampuluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil, dan menyandang
nama resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel, yang
kemudian diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau Satsus-Intel.
Satuan ini mendapatkan dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji
personelnya, lalu bantuan kendaraan untuk kegiatan pengamatan
(surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe house) di Jalan Jatinegara
Timur-Jakarta, dan tape recorder mutakhir merk Sony TC-800 serta
perangkat penyadap telepon canggih QTC-11. Hingga awal 1970,
Satsus-Intel mendapat 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota
Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep, dan 1 Minibus Datsun dengan kaca
belakang yang dilapisi penutup agar minibus ini digunakan untuk
melakukan pemotretan rahasia. Semuanya dari CIA. (Conboy; h.57).
 |
Jendral Sumitro |
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dengan terus terang
menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan
MOSSAD Israel, CIA, dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis.
“Dalam hal ini, Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga
orang ini yang saya izinkan.” (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai
Pangkopkamtib; 1994; h. 251).
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=36734